Jumat, 12 Juli 2013

Kata “Iqra’!”, Dari Al-Quran Sampai Kompasiana (Pandangan Nahwu)

Allah SWT begitu perhatian pada jalan hidup umatnya, khusus di sini berarti Muslim, sehingga membaca Al-Quran pun dijadikan sebuah ibadah. Itu, sebuah motivasi yang sangat penuh kasih sayang dari Tuhan Semesta Alam. Tidakkah kita termotivasi untuk membaca Al-Quran? Atau malah selalu curiga pada isi kandungannya. Simpan saja dulu kecurigaan itu. Bacalah!
Saya setuju, membaca buku dengan niat menambah pengetahuan pun ibadah. Lebih jauh dari itu, membaca, mengamati, memahami, meneliti, intinya, yang bersifat upaya mengetahui suatu pengetahuan atau informasi yang baik dan untuk kebaikan, pun itu suatu ibadah. Argumen saya, berdasar dari secuil ilmu Nahwu dan Shorof yang pernah saya pelajari. Anda, bisa tidak setuju, ko!
Lihat ayat ini, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!” (QS. Al-A’laq: 1). Perintahbacalah, pada ayat tersebut dalam bahasa Arabnya, “Iqra!”. Kalimat itu bentuknya, amar,atau perintah. Saya akan sedikit menarik Kalimat ‘Iqra!’ pada ilmu Nahwu. Ilmu yang membahas tata bahasa Arab.
Aturan dasar susunan kalimat dalam Nahwu, tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia. Yakni, Subjek Predikat, Objek (SPO). Yang standarnya saja, tidak menambahkanKeterangan. Dalam bahasa Nahwu susunan kalimat itu disebut, Fi’il (Predikat), Fa’il(Subjek), dan Maf’ul (Objek). Bedanya dalam letak subjek dan objek. Bahasa Indonesia, SPO, Bahasa Arab, PSO. Hanya itu, bedanya.
Di dalam Nahwu, Jika suatu kalimat yang membutuhkan keberadaan maf’ul (objek), tapi pada kenyataanya kalimat tersebut tidak memiliki objek (maf’ul). Maka, kalimat tersebut bukan tidak sempurna. Melainkan, objeknya itu jadi umum, maksudnya bisa apa saja yang berhubungan dengan makna predikatnya, fi’ilnya. Jika dalam Ayat tersebut, klimat, Iqra’! berarti yang jadi objek bacaan apa saja, Umum. Bisa Al-quran, buku, kitab, koran, Kompasiana juga boleh. Dan bacaan yang tersiratnya, mengetahui informasi alam semesta dan diri manusia, misalnya, yang berarti sifatnya penelitian, atau renungan. Renungan (taffakur), bukan melamun, apalagi angan-angan. Bukan itu!
Adakah batasan pada objek yang tak terkata itu? Ada! Tidak semua boleh dibaca. Sebab meski objeknya umum tapi ada batasannya. Hal-hal yang berlawanan dengan sifatKetuhanan, itu tidak boleh dibaca. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!”Nah, hal-hal yang berlawanan dengan sifat Ketuhanan, disini berarti kebaikan (sifat Tuhan baik) Itu tidak boleh dibaca. Hal yang cenderung menggerakan manusia pada perbuatan yang tidak baik, itu tidak boleh dibaca!
Jadi, Allah memerintahkan pada manusia untuk banyak membaca, mengkaji, memahami, meneliti, intinya, memperbanyak pengetahuan dari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan. Dan jangan lupa, untuk selalu menyandingkan upaya pencarian pengetahuan itu dengan menyebut nama Tuhan, Allah SWT. Tentang makna dengan” atau dalam bahasa Arab, “Ba/ Bi” yang menempel pada kata “Tuhanmu”, saya pernah membahasnya disini.
Bagaimana dengan membaca tulisan di Kompasiana. Saya pikir, tentu saja hal itu suatu kebaikan, ibadah. Sebab banyak pengetahuan yang bisa diambil, dikaji, dan dibahas bersama, belum lagi bisa menjalin tali silaturahim sesama kompasianer, meski secara online. Selain itu, di Kompasiana pun bukan saja tempat melempar tulisan, tanpa terasa, banyak sekali yang belajar dari Kompasiana ini, dari mulai belajar menulis, sampai belajar memahami “seuatu” yang tentunya sesuai tulisan-tulisan yang ada di Kompasiana. Salah satunya, saya, yang belajar itu.
Saya yakin, jika bukan menganggap hal ini suatu kebaikan. Sudah sejak lama saya meninggalkan Kompasiana. Atau tidak balik lagi ke sini, saya mulai gabung di Kompasiana pada tahun 2009. Alhamdulillah, banyak sekali hal yang bisa “dibaca” di blog keroyokan ini. Semoga Kompasiana sukses dan selalu bermanfaat.
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat balasannya (pahala)”. (QS: Az-Zalzalah: 7)
Namun, Al-Quran sebagai pedoman pokok kehidupan umat Muslim, jangan sampai tergeser posisinya oleh bacaan apapun. Sekali lagi, oleh bacaan apapun. Al-Quran pun harus sering dibaca. Terlepas pandangan pembaca terhadap makna Ayat-ayatnya. Perintah membaca Al-Quran bukanlah perintah yang “lemah”, maksudnya, Allah sangat menitik beratkan pada perintah membaca Kitab suci ini.
Banyak manfaat yang bisa diambil selain obat penghilang duka lara hati (bukan ekonomi) dengan membaca Al-Quran. Ketenangan jiwa saat membacanya penuh dengan nada yang berirama, merasakan keindahan rangkaian Ayat-ayatnya, apalagi kalau memahami maknanya. Aura keindahan hidup akan terlihat dan serasa diberi cahaya penuntun saat kita bisa memahami setiap Ayat-ayat yang dibaca.
Saya tidak berniat menuliskanya, tadinya. Tapi sepertinya harus. Meski saya hanya sedikit mendapatkan ilmu dari pesantren tentang Bahasa Arab, tepatnya bahasa Al-Quran dan cara menterjemahkannya, tapi pengetahuan itu, Alhamdulillah, membuat saya memahami rangkaian Ayat-ayat Al-Quran itu. Sekali lagi, hanya sedikit yang saya pahami.Subhanallah, ketika saya kembali membaca Al-Quran dan berusaha menterjemahkan setiap Ayatnya berbarengan dengan gerakan bibir yang melantunkan Ayat-ayat, sangat terasa sekali nikmatnya. Saya merasa aneh. Meski bukan hal yang baru saya merasakan hal seperti itu saat membaca Al-Quran. Tapi tetap saja, aneh. Ko, rasanya tenang banget. Sampai lupa Doraemon. Hihihi…
Setiap orang mempunyai pandangan dan rasa yang berbeda, pastinya.
Jangan lupakan rangkaian Ayat-ayat Al-Quran, jenguklah ia, barangkali kesepian. Lantunankan Kalam Illahi itu dengan hati yang ikhlas, tulus dan karena Allah SWT. Allah, Tuhan Kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar