Kata “Iqra’!”, Dari Al-Quran Sampai Kompasiana (Pandangan Nahwu)
Allah SWT begitu
perhatian pada jalan hidup umatnya, khusus di sini berarti Muslim, sehingga
membaca Al-Quran pun dijadikan sebuah ibadah. Itu, sebuah motivasi yang sangat
penuh kasih sayang dari Tuhan Semesta Alam. Tidakkah kita termotivasi untuk
membaca Al-Quran? Atau malah selalu curiga pada isi kandungannya. Simpan saja
dulu kecurigaan itu. Bacalah!
Saya setuju, membaca buku dengan niat menambah pengetahuan pun
ibadah. Lebih jauh dari itu, membaca, mengamati, memahami, meneliti, intinya,
yang bersifat upaya mengetahui suatu pengetahuan atau informasi yang baik dan
untuk kebaikan, pun itu suatu ibadah. Argumen saya, berdasar dari secuil ilmu
Nahwu dan Shorof yang pernah saya pelajari. Anda, bisa tidak setuju, ko!
Lihat ayat ini, “Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu!” (QS. Al-A’laq: 1). Perintahbacalah, pada ayat
tersebut dalam bahasa Arabnya, “Iqra!”.
Kalimat itu bentuknya, amar,atau perintah.
Saya akan sedikit menarik Kalimat ‘Iqra!’ pada
ilmu Nahwu. Ilmu yang membahas tata bahasa Arab.
Aturan dasar susunan kalimat dalam Nahwu, tidak berbeda jauh
dengan bahasa Indonesia. Yakni, Subjek Predikat, Objek (SPO). Yang standarnya
saja, tidak menambahkanKeterangan.
Dalam bahasa Nahwu susunan kalimat itu disebut, Fi’il (Predikat), Fa’il(Subjek),
dan Maf’ul (Objek).
Bedanya dalam letak subjek dan objek. Bahasa Indonesia, SPO, Bahasa Arab, PSO.
Hanya itu, bedanya.
Di dalam Nahwu, Jika suatu kalimat yang membutuhkan keberadaan maf’ul (objek), tapi pada kenyataanya kalimat
tersebut tidak memiliki objek (maf’ul).
Maka, kalimat tersebut bukan tidak sempurna. Melainkan, objeknya itu jadi umum,
maksudnya bisa apa saja yang berhubungan dengan makna predikatnya, fi’ilnya.
Jika dalam Ayat tersebut, klimat, Iqra’! berarti yang
jadi objek bacaan apa saja, Umum. Bisa Al-quran, buku, kitab, koran, Kompasiana
juga boleh. Dan bacaan yang tersiratnya, mengetahui informasi alam semesta dan
diri manusia, misalnya, yang berarti sifatnya penelitian, atau renungan.
Renungan (taffakur), bukan
melamun, apalagi angan-angan. Bukan itu!
Adakah batasan pada objek yang tak terkata itu? Ada! Tidak semua boleh dibaca.
Sebab meski objeknya umum tapi ada batasannya. Hal-hal yang berlawanan dengan
sifatKetuhanan, itu
tidak boleh dibaca. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!”Nah, hal-hal yang
berlawanan dengan sifat Ketuhanan, disini
berarti kebaikan (sifat Tuhan baik) Itu tidak boleh dibaca. Hal yang cenderung
menggerakan manusia pada perbuatan yang tidak baik, itu tidak boleh dibaca!
Jadi, Allah memerintahkan pada manusia untuk banyak membaca,
mengkaji, memahami, meneliti, intinya, memperbanyak pengetahuan dari hal-hal
yang bermanfaat untuk kehidupan. Dan jangan lupa, untuk selalu menyandingkan
upaya pencarian pengetahuan itu dengan menyebut nama Tuhan, Allah SWT. Tentang makna “dengan” atau dalam
bahasa Arab, “Ba/ Bi” yang
menempel pada kata “Tuhanmu”, saya pernah membahasnya disini.
Bagaimana dengan membaca tulisan di Kompasiana. Saya pikir,
tentu saja hal itu suatu kebaikan, ibadah. Sebab banyak pengetahuan yang bisa
diambil, dikaji, dan dibahas bersama, belum lagi bisa menjalin tali silaturahim sesama
kompasianer, meski secara online. Selain itu, di Kompasiana pun bukan saja
tempat melempar tulisan, tanpa terasa, banyak sekali yang belajar dari
Kompasiana ini, dari mulai belajar menulis, sampai belajar memahami “seuatu”
yang tentunya sesuai tulisan-tulisan yang ada di Kompasiana. Salah satunya,
saya, yang belajar itu.
Saya yakin, jika bukan menganggap hal ini suatu kebaikan. Sudah
sejak lama saya meninggalkan Kompasiana. Atau tidak balik lagi ke sini, saya
mulai gabung di Kompasiana pada tahun 2009. Alhamdulillah,
banyak sekali hal yang bisa “dibaca” di blog keroyokan ini. Semoga Kompasiana
sukses dan selalu bermanfaat.
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia
akan melihat balasannya (pahala)”. (QS: Az-Zalzalah: 7)
Namun, Al-Quran sebagai pedoman pokok kehidupan umat Muslim,
jangan sampai tergeser posisinya oleh bacaan apapun. Sekali lagi, oleh bacaan apapun. Al-Quran pun harus sering
dibaca. Terlepas pandangan pembaca terhadap makna Ayat-ayatnya. Perintah
membaca Al-Quran bukanlah perintah yang “lemah”, maksudnya, Allah sangat
menitik beratkan pada perintah membaca Kitab suci ini.
Banyak
manfaat yang bisa diambil selain obat penghilang duka lara hati (bukan ekonomi)
dengan membaca Al-Quran. Ketenangan jiwa saat membacanya penuh dengan nada yang
berirama, merasakan keindahan rangkaian Ayat-ayatnya, apalagi kalau memahami
maknanya. Aura keindahan hidup akan terlihat dan serasa diberi cahaya penuntun
saat kita bisa memahami setiap Ayat-ayat yang dibaca.
Saya tidak berniat menuliskanya, tadinya. Tapi sepertinya harus.
Meski saya hanya sedikit mendapatkan ilmu dari pesantren tentang Bahasa Arab,
tepatnya bahasa Al-Quran dan cara menterjemahkannya, tapi pengetahuan itu, Alhamdulillah,
membuat saya memahami rangkaian Ayat-ayat Al-Quran itu. Sekali lagi, hanya
sedikit yang saya pahami.Subhanallah,
ketika saya kembali membaca Al-Quran dan berusaha menterjemahkan setiap Ayatnya
berbarengan dengan gerakan bibir yang melantunkan Ayat-ayat, sangat terasa
sekali nikmatnya. Saya
merasa aneh. Meski bukan hal yang baru saya merasakan hal seperti itu saat
membaca Al-Quran. Tapi tetap saja, aneh. Ko, rasanya tenang banget.
Sampai lupa Doraemon. Hihihi…
Setiap
orang mempunyai pandangan dan rasa yang berbeda, pastinya.
Jangan lupakan rangkaian Ayat-ayat Al-Quran, jenguklah ia,
barangkali kesepian. Lantunankan Kalam Illahi itu dengan hati yang ikhlas, tulus dan
karena Allah SWT. Allah, Tuhan Kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar